/bukan kata-kata puitis hanya cibiran terhadap ruang sosial yang semakin paradoks dan gaya hidup yang semakin aneh/

Minggu, 04 Agustus 2013


Selasa, 05 Juli 2011

Ode Buat Seorang Kawan

Malam itu kau menanya ketika kawan-kawanmu meninggalkanmu sendiri, saat mimpi-mimpi masa lalu tak lagi pernah tampak. 

Lalu ada saat ketika kita harus memutus dengan masa lalu yang kini hanyalah hantu, menggerogoti daging-daging dan tulang-tulang yang dihinggapinya. Engkau perlahan akan terbiasa begitu kataku meski tak pernah kau dengar, kecuali engkau memiliki telinga lebih dari dua.

Lalu waktu akan menelanmu, melibasmu yang terus tenggelam bersama harap yang seharusnya tak kau biarkan hidup. Aku dapat membaca cairan yang keluar dari dua lubang hidungmu, dan aku tahu engkau menderita dari hati hingga ke tulang-tulang.

Lalu engkau tak juga pernah menangkap apa arti tragedi, padahal engkau punya dua tangan dengan sepuluh jari. Tidakkah apa yang seharusnya bukan milikmu terlalu sempurna untuk kau tangisi? Jadi mengapa mesti engkau harus diburu gelisah yang kau biarkan hidup dan terus melubangimu hingga menembus tulang-tulang?

Lalu katamu padaku, engkau sakit. Iya aku telah membacanya dari cairan di dua lubang hidungmu yang sekali-kali kau hapus dengan punggung tanganmu. Lalu mesin kau nyalakan memutar setir, berusaha meninggalkan malam sementara pagi masih jauh.  


 

   

Tiga Lagu

Engkau duduk di jok depan dan ia duduk di jok belakang, pas di belakang jok kekasihmu. Ketika mesin kau matikan, kekasihmu melangkah turun di warung mie kering milik seorang tionghoa, meninggalkan kalian berdua di dalam mobil yang dingin ac-nya mengembun di jendela-jendela rayben. Lalu padanya kau mulai memperdengarkan tiga lagu pilihanmu, bukan lewat pemutar musik tapi dengan bibirmu langsung, engkau masih tak puas dan kau juga memperlihatkan salinan liriknya.

Lalu katamu,"menyukai lagu ini tidak berarti ada kekasih lain selainnya." Engkau berusaha meyakinkannya, sementara dingin mulai menggigit kulitnya yang terbungkus flanel biru, putih, hijau, merah, berkotak-kotak, dan bergaris-garis. Ia mendekap tubuhnya sendiri, memeluknya erat dan kuat, saat itu dingin bergerilya dengan cepat menyerang tulang hingga menembus sum-sumnya. "Lagu-lagu ini membawaku pada tahun-tahun ketika mimpi-mimpi masih di junjung tinggi," engkau masih berkata menegaskan maksudmu, dan ia yang masih bersama dingin yang mulai menyakitkan, menerawang saat-saat yang kau maksudkan.

Entah kau dapat membaca, engkau akhirnya menekan tombol dan aliran dingin yang membuat jendela-jendela rayben mengabur pucat perlahan menghilang. Dalam hatinya ia


Jumat, 16 Oktober 2009

Kisah Haji Bone

Berdasarkan cerita beberapa warga, saya mendapat informasi mengenai keluarga kaya yang kemudian jatuh miskin. Rumahnya terletak sekitar 300 meter dari kantor kelurahan. Akhirnya dengan ditemani seorang ibu yang bekerja di kantor kelurahan Manjangloe saya menuju rumah keluarga tersebut.



Sewaktu kami memasuki pekarangannya, perempuan tua itu sedang terbaring di beranda rumah panggungnya. Saat kami mengucapkan salam, ia bangkit dengan segera dan mengikat rambut panjangnya yang terurai. Kami lalu dipersilahkkan masuk kerumahnya. Penampilannya seperti ibu-ibu kebanyakan dengan baju daster biru bermotif kembang membungkus tubuh kurusnya.



Setelah memperkenalkan diri dan maksud kedatangan saya kami mulai bercakap-cakap. Sedikit demi sedikit wajahnya yang berkerut penuh tanya mulai mengendur. Sekilas saya memperhatikan gambar-gambar yang terpajang di ruang tamunya. Tampak fotonya bersama seorang anak. Hari ini keadaannya sangat berbeda, tulang lengan dan kakinya terlihat jelas dibalik kulitnya.



Tanpa saya sadari percakapan antara kami mulai mengalir. Ia mulai mengisahkan kehidupannya beberapa tahun lalu sewaktu usaha penjualan pakaiannya berjalan lancar. “Kami memiliki satu kios di pasar, di kota Jeneponto, satu pete-pete (angkot), dan tiga motor.” Keuntungan dari usahanya tersebut juga tidaklah sedikit, “dulu, kalau hari-hari biasa kami bisa mendapat keuntungan minimal 50 ribu rupiah, jika di musim pesta pernikahan dan menjelang idul fitri keuntungan bisa mencapai 300 hingga 500 ribu dalam sehari.”



Awal kejatuhannya di mulai pada tahun 2005. Saat itu, ia harus menikahkan tiga orang putranya dalam waktu yang berdekatan dengan biaya yang tidak sedikit. Suaminya yang sakit, semakin memperlemah keadaan keuangan keluarga. Berulang kali ia harus bolak-balik ke rumah sakit dengan biaya pengobatan yang tidak sedikit. Hal ini mereka hadapi sendiri tanpa bantuan keluarga dan orang lain,“kami tidak meminta bantuan kepada keluarga, kami merasa malu sebagai orang yang selama ini berpenghasilan lebih dari cukup.” Ia lebih memilih meminjam uang kepada orang lain dengan bunga 20 persen pertahun.



Saat suaminya meninggal modal usahanya juga habis tak tersisa, bahkan utang-utangnya menumpuk. Akhirnya ia harus menjual kios dan kendaraan miliknya. Hingga sekarang utang-utang tersebut belum juga lunas. Untuk biaya hidup sehari-hari, ia hanya berharap bantuan dari anak-anaknya yang juga tak memiliki penghasilan memadai. Hanya rumah panggung kayu sisa-sisa harta yang dipunyainya, itu pun sertifikat tanah tempatnya berdiri sudah dijadikan jaminan kepada bank. Kini, layaknya warga miskin lainnya ia didaftarkan agar dapat menerima program-program bantuan seperti RASKIN dan BLT. Sampai saat ini ia masih sulit untuk mempercayai apa yang menimpanya.


Catatan-catatan Melawan Lupa

Lebih dari seminggu saya luntang-lantung di kelurahan Raya di kabupaten Maros dan kelurahan Manjangloe di kabupaten Jeneponto. Kerja saya adalah berbincang dengan beberapa warga di dua kelurahan tersebut. Seringkali hal tersebut terjadi tanpa struktur yang baku. Saya berusaha mengikuti arus, membiarkan diri dalam kendali cerita-cerita yang mengalir deras dan terkadang tenang menghanyutkan. Terkadang perbincangan tersebut memiliki banyak cabang seperti sungai bersama anak-anaknya yang bermuara di samudra luas. Pada akhirnya perbincangan itu mengajarkan banyak hal tentang beragam cara orang-orang bersiasat dengan hidup, berontak dari nasib, kejatuhan hingga kebangkitan, dan tentu saja merasakan beragam dimensi rasa mulai dari kemarahan, kesedihan, kegembiraan, hingga lelucon sekalipun.



Saya beranggapan bahwa salah satu cara agar kita tak mudah lupa adalah dengan mengisahkannya kepada yang lain. Saat ini saya juga tengah belajar untuk melihat diri sendiri melalui cara saya menuliskan cerita tersebut. Atas dasar ini tulisan-tulisan ini hadir dalam Sang Alang. Di samping itu, apa yang dikisahkan di sini bukanlah kesimpulan-kesimpulan yang begitu mudah ditarik. Ada pun jika pembaca pada akhirnya melihat kesimpulan-kesimpulan itu, tak dapat saya pungkiri bahwa setiap tulisan lahir dari cara kita menilai.



Semoga oleh-oleh ini bisa membahagiakan para pembaca sekalian. Selamat membaca.

Minggu, 11 Oktober 2009

Saya Hanya Rindu Pulang

Sudah dua hari ini, saya menginap di hotel. Tapi perasaan saya selalu merasa tidak nyaman. Barangkali saja karena tidak terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Beradaptasi dengan lingkungan baru tidaklah selalu menyenangkan. Terkadang banyak benturan yang mesti dihadapi. Seringkali saya dapat melewati hal itu dengan cepat. Tetapi kali ini, setiap berusaha menahan benturannya rasa sedih yang aneh mendatangiku.



Selama di hotel saya selalu memikirkan orang-orang yang saya wawancarai kemarin. Beberapa dari mereka hidup dengan penghasilan 250 ribu sebulan, ditambah tanggungan anak-anak mereka. Sangat jauh dengan apa yang saya lakoni dua hari ini. Penghasilan mereka dalam sebulan habis hanya sehari untuk membayar sewa kamar padahal duit sebesar itu sangat berarti dalam menyambung hidup mereka. Ini mungkin penyebab bawaan hati saya selalu sedih. Saya butuh tangis tapi bukan tangisan siapa-siapa kecuali air mata sendiri, kecuali rindu akan sesak di dalam dada sendiri. Saya hanya butuh pulang di rumah yang saya akrabi dan tempat tidur yang tak cukup empuk.



Saya ingat sebuah jargon, kalau tidak salah kata-katanya seperti ini “ hard work but party more hard.” Isinya menyinggung gaya hidup para pekerja kelas menengah. Dalam seminggu mereka menghabiskan lima hari dengan kerja keras tetapi dua hari berikutnya pesta mereka lebih keras lagi. Berbeda dengan apa yang saya lakukan, setidaknya mereka masih berani menegaskan diri dengan kata-kata tersebut. Sedangkan saya, bekerja tapi tak menikmati “pesta“ ini. Seperti kata seorang kawan beberapa tahun lalu, ”posisi yang paling tidak nyaman adalah saat kau berada pada titik-titik kompromi.“



Saya mengimajinasikan diri saya seperti berjalan kembali ke kamar dan yang saya temui ruang seperti maze. Beberapa kali saya dibingungkan karena hampir setiap lorong-lorongnya sama. Saya membayangkan seandainya saja nomor-nomor kamar itu tidak di pajang untuk menunjuk deretan kamar saya menginap, saya akan tersesat dan berputar-putar dalam kebingungan menemukan dinding-dinding dan lorong-lorong yang tak dapat saya bedakan satu sama lainnya.



Saya terasing dalam kebingungan saya, terjebak di antara dua dunia yang tak dapat lagi kubedakan batasnya. Saya hanya rindu pulang.



......kerinduan adalah cara cinta menumbuhkan sayap pada manusia agar ia dapat terbang menjumpai kekasihnya....




Sabtu, 26 September 2009

Jakarta yang Menghantui

September 26, 2009 6:14 PM



Entah beberapa waktu telah lewat, saya tak pernah lagi memikirkan tentang beda Jakarta dan tanah tempatku menetap. Hingga siang tadi setelah membaca teks perbincangan di salah satu wall pengguna situs jejaring sosial online facebook 1, ingatan-ingatan tentang itu bangkit kembali. Dalam perbincangan tersebut, mereka dengan loe-gue penuh semangat mencibir orang-orang di mana saya dibesarkan yang terletak di luar kota metroplis itu. Sekaligus membangun kebanggan bahwa mereka istimewa hanya karena besar di ibu kota negeri tercinta ini.



Seketika perasaan geli menyetrumku hingga ke ulu hati. Lambung saya sontak mual, untunglah tidak sampai memuntahkan isi didalamnya. Kepala saya berputar-putar akan paradoks orang-orang yang mengatasnamakan Jakarta sebagai identitas dengan praktik hidup mereka. Apakah karena jakarta menjadi tempat bersarangnya mall-mall raksasa dan gedung-gedung tinggi nan angkuh hingga dapat dijadikan alasan untuk menghakimi daerah di luarnya sebagai kampungan, udik dan tak moderen? Seolah-olah hidup diluarnya adalah suatu hal yang membawa aib.



Sebagai tempat yang direkayasa sedemikian rupa bahkan dipaksakan, Jakarta menjadi pusat semua hal mulai dari pembangunan ekonomi, pertumbuhan gedung-gedung bertingkat, industri hiburan, pendidikan, pemerintahan- sebagaimana terbangun di masa kolonial 2 hingga Orde Baru dan mungkin saja hingga hari ini- dan jika kita harus konsisten dengan logika ini, setidaknya manusia-manusia yang tumbuh didalamnya juga menjadi pusat penerang bagi manusia lainnya.



Ataukah karena ia adalah arena perang bagi orang-orang yang mempertaruhkan keberanian. kenekatan hingga status sosialnya? Tapi tidakkah setiap tempat juga memiliki masalah dan tantangan yang berbeda. Orang-orang di tanah kelahiran saya memilih mengangkat palu, sekop, dan gergaji demi menyekolahkan anak-anak mereka atau sekedar di habiskan di warung-warung tuak, seperti halnya para eksekutif muda, setelah lelah dengan rutinas kerja di kantor, mereka menumpahkannya di bar-bar. Pada titik ini, tiada beda antara orang-orang tersebut baik Jakarta maupun tanah kelahiran saya.



Jika memikirkan hal di atas dan menimbangnya dengan teks-teks di Facebook tadi, saya menyaksikan hal sebaliknya. Orang-orang ini adalah katak dalam tempurung, hidup dalam dunia yang terbatasi oleh angan-angan dan kebanggan semu kemudian berkoar-koar seolah-olah mereka telah melihat seluruh semesta. Saya sama sekali tidak bermaksud membuat generalisasi, kecuali terhadap orang-orang yang mempraktikan hal ini dalam kehidupan sosial di mana kita juga hidup didalamnya.



Apa yang menjadi kebanggaan pada praktiknya hanyalah sebatas logat loe-gue. Saya melihat hal ini sebagai ketakutan melepaskan kuasa terhadap orang-orang di luar mereka. Sehingga, budaya lain tak diberikan panggung untuk menampilkan dirinya. Anda dapat merenungkannya jika menyempatkan diri menyaksikan sinetron kebanyakan dalam kotak sihir di rumah-rumah kita.



Bagiku gembar-gembor Jakarta sebagai pusat dan standar nilai adalah hantu-hantu hasil peninggalan kolonial. Hingga saat ini saya tidak melihatnya sebagai suatu kemegahan dibandingkan daerah lainnya. Sama halnya di tiap tempat yang saya singgahi, masing-masing hidup dengan dinamikanya. Hanya saja pikiran saya selalu terusik ketika ada pemaksaan cara pandang sarat penipuan. Tuhan Yang Maha Pemurah menciptakan dunia ini demikian indahnya, sepantasnyalah kita kemudian mensyukuri dan membangun kedamaian diatasnya.



catatan


1 Saya sengaja tidak mencantumkan teks-teks perbincangan itu. Meski halaman Facebook bisa diakses oleh setiap orang, saya berusaha agar tidak sampai menampilkannya dengan pertimbangan teks-teks tersebut bisa jadi hal yang sangat privasi bagi kedua user tersebut.


2 Robert Van Dahl dalam bukunya “Lahirnya Elit Modern” (terj) menjelaskan selain menjadi pusat pemerintahan Batavia juga menjadi pusat pelaksanaan politik etis khususnya pendidikan. Pada titik ini saya memahami bahwa hal ini juga menciptakan landasan yang kokoh bagi perkembangan Jakarta nantinya.


Kamis, 17 September 2009

Orang Bajo, Laut dan Antena Parabola


Setelah lima jam dalam perut si panther diombang-ambing laju dan jalan bergelombang, sampai juga saya di rumah seorang kawan di Belopa. Niat awal untuk langsung ke rumah luruh dengan ajakannya, meski keputusan saya sendiri juga tidak terlepas dari pemenuhan kerinduan akan aroma laut. Seperti yang sudah-sudah, perjalanan seringkali bermuara pada tempat di luar daftar rencana, saya sendiri sudah membiasakan hidup dalam ketakteraturan ini.



Saya pernah punya mimpi untuk berumah di tepi laut biar dapat mencium aroma garam dan menyaksikan perahu-perahu nelayan bersandar di siang hari. Betapa indahnya ramai warna perahu-perahu berbaris menunggu tuannya mengembangkan layar atau menyalakan mesin menuju samudra luas, menantang ombak dan badai. Ternyata bayangan saya tak banyak berbeda dengan cerita sang kawan tentang lingkungan tempat ia tinggal, kecuali rimbunan bakau yang berjejer teratur di atas pematang-pematang empang. Serta warna hijau airnya -mungkin diakibatkan ganggang yang hidup di muara sungai- tidak biru seperti bayangku. Salah satunya membuatku tak asing seolah dejavu, ya... perahu-perahu beragam warna berbaris di sepanjang tepi dermaga terletak pas di depan rumah.



Saya merasa beruntung bisa bertemu orang-orang sedang pulang melaut. Menurut kawan saya, mereka adalah para sawi yang bekerja di bagang milik para punggawa. Tak sabar, kukeluarkan kamera poket dengan fasilitas seadanya -meski saya tak berharap hasil secara teknis mumpuni- bagiku setiap gambar memiliki pesonanya masing-masing yang dapat memikat pemandangnya.



Kawan saya bercerita, bahwa pemukiman disebelahnya yang berhadapan langsung dengan laut dihuni oleh orang-orang Bajo. Sore nanti ia akan mengajak saya berjalan-jalan kepemukiman para etnis Bajo. “Kejutan yang menyenangkan,“ pikirku. Selama ini saya hanya mendengar atau membaca tentang mereka lewat bibir dan tulisan orang-orang. Kali ini saya dapat melihatnya dengan mata kepala sendiri.



Perjalanan panjang membuat saya kelelahan. Hingga akhirnya saya takluk juga di bantal dan kasur nan empuk. Pukul lima sore saya terbangun sedikit dikagetkan oleh suara sang kawan. ”Wah...sudah setengah lima,“ kataku sedikit cemas. Tanpa menunggu lama, kami akhirnya bergegas, bersiap melihat dermaga dan tentu saja pemukiman orang Bajo.



Sewaktu memasuki pemukiman mereka, bayangan saya tentang mereka jauh dari apa yang saya bayangkan. Seperti kebanyakan tempat baru, saya juga harus menerima bahwa amat sering apa yang saya bayangkan tak sama persis atau berbeda sama sekali dengan kenyataan. Rumah mereka saling berhadapan, dibelah oleh jalan aspal -bukan kayu sebagaimana imajinasi saya- menuju dermaga. Sebagian besar sudah di cet. Pemukiman mereka tidaklah luas mungkin dihuni sekitar lima puluh kepala keluarga. Tak banyak orang Bajo yang terlihat. Kecuali seorang perempuan muda tengah bermain-main dengan telepon genggam. Saya juga melihat satu rumah terbilang mencolok dibanding rumah lainnya, menurut kawan saya itu rumah peristrahatan mantan salah satu pejabat.



Saya teringat cerita kawan saya siang tadi. Salah satu yang menarik buat saya adala kisah tentang orang-orang Bajo yang seringkali berurusan dengan pihak kepolisian. Katanya, mereka kerap ditangkap karena kasus pengeboman ikan. Saya pribadi menduga bahwa tindakan mereka tersebut sebagai cara untuk bersaing dengan perkembangan teknologi penangkapan ikan yang jauh di atas mereka.



Dari beberapa hal yang saya perhatikan di pemukiman mereka, saya tertarik dengan antena parabola di salah satu rumah. Penampakannya tak lagi baru, saya menduga keberadaannya sudah cukup lama mungkin di akhir tahun sembilan puluhan. Di tahun-tahun itu, benda tersebut ramai menghiasi halaman-halaman rumah warga di kabupaten Luwu yang berderet sepanjang jalan menuju Palopo. Menurut kawan saya lagi, di awal tahun 90-an orang-orang Bajo biasa berkumpul dirumahnya untuk menonton serial Mahabharata yang waktu itu ditayangkan oleh TPI. Saking ramainya bapak kawan saya menambah lagi satu pesawat televisi. Sekarang setiap rumah orang Bajo sudah memiliki TV. Bahkan sebelum listrik tersambung ke rumah-rumah mereka, benda -benda elektronik seperti TV dan lemari pendingin sudah mereka miliki. Rupanya kepemilikan benda-benda ini menjadi gengsi tersendiri. Bisa jadi mereka berusaha melawan pemposisian mengenai mereka sebagai yang tertinggal oleh kemajuan zaman. Hal ini menurut saya merupakan salah satu alasan lainnya tindakan pengeboman tadi mereka lakukan.



Perjalanan kami diteruskan hingga dermaga. Di sisi dermaga berjejer beberapa bagang yang sedang merapat. Di salah satu bagang nampak seorang lelaki tua sedang duduk mengaso. Di pelabuhan belum rampung itu, saya juga melihat dua orang anak lelaki sedang duduk memandang laut. Saya teringat sewaktu kecil saat berusia seperti mereka. Duduk bersama imajinasi tentang dunia lain di sebelah lautan luas.



Waktu berlalu cepat tanpa mau menunggu, matahari mulai ditelan garis horison. Suatu penanda untuk segera pulang. Tak puas rasanya, masih ingin berlama-lama dan bersentuhan lebih dekat dengan laut dan orang-orang Bajo. Namun saya juga harus berkompromi dengan waktu, masalahnya kendaraan umum ke Palopo -berjarak kurang lebih 50 km dari Belopa- hanya beroperasi sampai maghrib saja.



Hari sudah gelap saat mobil yang saya tumpangi memasuki Palopo. Saya masih memenuhi kepala saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terpuaskan tentang pengalaman sore tadi. Mungkin saja orang-orang Bajo di dekat tempat tinggal kawan saya sedang melawan setiap bentuk penguasaan atas mereka termasuk penilaian-penilaian merendahkan mereka atau jangan-jangan orang-orang Bajo di sana juga memburu pesona kemajuan dan pada akhirnya alam harus menjadi korban dari perburuan itu. Bagiku, mereka juga butuh hidup seperti orang kebanyakan. Memisahkan orang Bajo dengan laut sama halnya dengan membunuh mereka.




                                                                                                Palopo, 18 September 2009

Minggu, 13 September 2009

Pucuk di cinta ulam pun tiba

Setelah beberapa tahun mencarimu, akhirnya lewat seorang kawan, kutemukan engkau siang tadi. Imaji tentangmu kudapatkan dari pendapat orang-orang yang pernah menyaksikanmu secara langsung dan teks-teks media yang memperbincangkan tentang keindahanmu, kehebatanmu, sebuah maha karya agung sekaligus memikat idaman para seniman. Saat itu juga kubawa di kau, kusimpan dalam ruang digital yang telah memadat dan menyempit sesak. Sedikit celah tersisa di antara mereka yang hadir sebelummu.

Malam kutemui engkau, dengan rasa sabar untuk bertatap muka langsung denganmu. Engkau kubisukan


Cinema Paradiso
15:20

Senin, 07 September 2009

Dari Shaw brothers hingga Hollywood


Saya mengenalnya sekitar setahun lalu. Kami dengan mudah mengakrabkan diri melaui cerita tentang novel, film dan komik dari negeri Tiongkok. Hingga tiada lepas dari perbincangan tentang hal tersebut di setiap pertemuan kami. Ia memiliki informasi yang lumayan luas mengenai budaya-budaya populer ini.

Terkadang ia sering mengeluh dengan kesukaannya tersebut. Katanya, teman-teman seumurnya menganggap ia aneh dengan hobi tersebut sehingga seringkali ia terkucil sendiri, tak memiliki kesamaan referensi cerita saat bersama mereka. Di sisi lain, pembaca cerita silat Mandarin tidaklah sebanyak pembaca manga, budaya populer dari Jepang yang laris manis di negeri ini bagi remaja seusianya. Sementara apa yang dibacanya hanyalah artefak-artefak yang ramai ditemui di tahun 80an hingga 90an, di mana anak-anak seusianya masih dibuai kandungan. Budaya populer ini sangat akrab di waktu saya masih bersekolah dasar yang biasanya saya dapatkan dengan meminjam milik teman. Saya sendiri melihatnya sebagai anak yang sedikit melenceng dari zaman generasi tontonan dan musik di MTV, yang masih menyimpan dan mengingat jejak-jejak budaya visual.

Jika anda menyukai atau pernah membaca komik-komik seperti Tapak Sakti, Tiger Wong, Drunken Fist atau novel- novel silat seperti Pendekar Hina Kelana, Pendekar Pedang Tangan Satu, dan sebagainya. Begitu pula dengan film-fil silat mandarin dari zaman Shaw Brothers hingga era Tsui Hark. Beragam genre dan gaya dari penulis-penulis yang berbeda dengan lancar dilafalkannya. Sebagaimana yang saya rasakan, anda mungkin akan bernostalgia saat berbicara dengannya

Sebaliknya, ia tak menyukai film-film buatan Hollywood. “Ndak ada nyeninya, buka koper terus tembak,” katanya dengan lantang. Mungkin apa yang dirasakannya seperti halnya saya saat menyaksikan laga pertarungan dalam film kungfu mandarin. Khususnya, adegan pertarungan michelle yeoh dengan dalam salah satu scene di Crouching Tiger Hidden Dragon. Dikisahkan, Michelle Yeoh menantang ...... yang telah mencuri pedang Takdir Hijau milik pendekar kelas wahid tanpa tanding Li Mu Bai. Merasa memiliki kekuatan, ..... membalas tantangan tersebut.

Bagi saya, pertarungan tersebut tidak sekedar adu ketangkasan, selain dapat menikmati kelembutan dan kehalusan, adegan tersebut juga syarat dengan makna simbolik serta pertarungan nilai dan cara pandang. Khususnya saat beragam senjata yang digunakan oleh Michelle Yeoh takluk di hadapan Takdir Hijau yang disela-selanya disisipkan dialog-dialog menarik antara Michelle dan ....

Dalam salah satu dialognya, michelle

Adegan tersebut menyiratkan pesan

Dua bulan kemarin, saya menyaksikan satu film dokumenter berjudul "Dragon Kungfu's from Wu Tang" di channel National Geographic. Film ini berkisah tentang kehidupan para pendeta Wu Tang dan murid-muridnya di kuil yang terletak di puncak gunung. Para pendeta Wu Tang hidup dengan sangat sederhana. Mereka menguasai kebajikan dari kitab dan jurus-jurus kuno yang kerap kita baca melalui novel dan komik atau melihatnya di film-film silat. Hal menarik dari kisah tentang mereka adalah posisi mereka di tengah hingar bingar dunia posmodern yang terus bertahan dengan nilai-nilai dan pandangan hidup mereka yang tetap dipraktikkan.

Dari film itu saya merasakan betapa tenang hidup mereka tanpa dikuasai keinginan-keinginan duniawi. Di puncak gunung itu mereka bersunyi dalam penyepian demi pencapaian spiritual. Mungkin keresahan kawan saya dengan cerita-cerita silatnya yang kini menjadi hobi antik di era teknologi komunikasi virtual juga merupakan keresahan eksistensinya sebagaimana pernyataannya kepadaku pada akhir perbincangan kami, "saya akan menghilang untuk menyepikan diri."

Senin, 31 Agustus 2009

CAKE dan LAUT

CAKE dan LAUT
September 1, 2009 2:30 AM

Saat mendengar Cake, aku selalu mencium bau laut, mencium bau aspal basah.

http://photobucket.com/images/


Pengalaman memandang Foto

Saat bertamu ke rumah orang, saya selalu mengamati foto-foto yang terpajang di ruang tamu mereka.
Seperti yang dibahasakan Nukila Amal dalam novelnya, Cala Ibi. Foto menyusun suatu realitas di kepala pemandangnya dan imajinasi atas masa lampau yang tak pernah dialami secara langsung.
Akhirnya kusadari begitu banyak masa lalu terkubur pada foto-foto yang hilang itu.
Dokumentasi itu penting untuk mengingat masa lalu, untuk menyimpan kenangan

BIG FISH

bagi sang ayah setiap manusia adalah narator.

“kita semua pencerita, ayah ceritakan cerita ayah dan kau tuliskan ceritamu, sama saja.”

Apa yang menarik dari film ini adalah kedekatan dengan setidaknya begitulah ynag kupahami
milik kaum lelaki

Catatan tambahan
Film ini kusaksikan sekitar tahun 2000 di kamar kawan saya, dan hingga kemarin aku menyewanya di rental. Kehidupan begitu ajaib sehingga kata-kata beranak pinak untuk mengabarkannya kepada kita. Tuhan berkata-kata kepada para hambanya tentang kemahakuasaan-Nya dan sampaikanlah kabar gembira ini.

Jumat, 21 Agustus 2009

Merawat Kuasa Orde Baru

Dalam pidatonya tanggal ......juli 2009, malarangeng juru bicara kampanye kandidat SBY mengeluarkan beberapa kata yang mengarah pada menutup kesempatan ..... tentu saja, pernyataan ini menjadi angle menarik bagi beberapa media apalagi dalam suasana kampanye politik yang seringkali dilihat oleh mereka sebagai arena pertarungan layaknya konflik.

Reaksi sebahagian masyarakat di kota Makassar ditunjukkan dalam beberapa spanduk yang dipajang di jalan-jalan. Salah satunya bertulis “malarangeng telah menyinggung perasaan orang sulsel, darah menjadi bayarannya.“

tetapi di luar dari itu, saya melihat melalui pernyataan Malarangeng yang dipilih oleh media, ide-ide oposisi biner tentang indonesia khususnya ranah politik direproduksi seperti keadaan di masa ORDE BARU. Disadari atau tidak media yang menggunakan logika ini, bukannya membawa kita untuk belajar lupa atau menghilangkan praktik ini tetapi justru media memperuncingnya sebagai alat saling menikam antara.

Pernyataan saya di atas tidaklah bermaksud menutup mata terhadap timpangnya pusat dan pinggir, tetapi dalam hal posisi media sebagai . apalagi tidak dapat dinafikkan media tersebut mengusung atau membawa identitas pengenal identitas bahasa yang juga

Lebih jauh saya melihat pusat dan pinggir bukan semata area geografis saja, tapi juga posisi kelas kita termasuk didalamnya antara warga biasa dan birokrat pemerintahan bahkan antara satu individu dengan individu lainnya cara pandang ini masih kerap diterapkan, sebagaimana
gagasan para post-strukturalis.

malarangeng tetap merawat pandangan oposisi biner antara jawa dan diluar pulau jawa yang diwakili oleh sulsel. Bagi saya, cara pandang ini membuat politik sebagai sebuah komoditas kuasa bagi segelintir pihak semata bukan sebagai arena partisipasi bagi setiap orang.
 
Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates